Aji Saka adalah nama seorang tokoh legendaris yang banyak
diceritakan masyarakat Jawa secara turun temurun di masa lalu. Sumber tertulis tentang Aji Saka adalah Serat
Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka, Serat Witoradyo III, dan Serat
Ajidharma Ajinirmala yang kesemuanya ditulis di atas tahun 1800. Sumber penulisan manuskrip-manuskrip di atas
juga berasal dari cerita legenda. Maka
tidak heran kaum rasionalis menganggap kisah Aji Saka tidak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Asal-usul Aji Saka disebut dalam berbagai versi yang berbeda
antara lain bumi Majeti, Arab, India, Rum, dan bahkan Ranggawarsita mengatakan
ia berasal dari Lampung. Ketidakjelasan
asal-usul Aji Saka membuat imajinasi masyarakat semakin liar dengan munculnya nama
alias dari Aji Saka antara lain Haji Saka, Sangiang Aji Saka, Prabu
Jaka Sangkala, Begawan Sakawayana, Purwawisesa, Sri Aji
Joyoamiseni, Prabu Widayaka, Prabu Sindula, Prabu Sri Maha Punggung III, Ki
Ajar Padang III, bahkan ada yang menganggapnya sebagai Syaikh Subakir dan Nabi
Ishak.
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan sederhana apakah
Aji Saka benar-benar ada atau hanya tokoh rekaan. Marilah kita bedah satu demi satu.
-----------------
Bagi pembaca yang belum pernah mendengar kisah Aji Saka,
ia adalah sosok yang dianggap sebagai penemu aksara Jawa hanacaraka dan penumpas kejahatan yang dilakukan raja Dewata Cengkar
raja Medang Kamulan. Karenanya, membahas
Aji Saka seharusnya tidak bisa dilepaskan dari kelahiran aksara Jawa, penanggalan
Jawa, Dewata Cengkar, dan Medang Kamulan.
A.
AJI
Kata aji dalam bahasa Jawa ditulis sama dengan kata haji. Tentu berbeda dengan istilah haji dalam Islam
karena orang Jawa masa lalu memakai istilah ‘kaji’ untuk menyebut orang yang
telah berhaji. Ada yang mengartikan ‘aji’
sebagai raja atau pegangan raja. Kalau dirunut
kebelakang, istilah ini telah ada sejak berabad-abad lalu dan tercantum dalam
beberapa prasasti. Misalnya dalam Prasasti
Palepangan (906 M), luas satuan tampah
haji adalah sekitar 9.818 s/d 11.170 m². Apapun artinya, kata aji telah ada
sekurang-kurangnya tahun 906 M.
B.
SAKA
Kata 'saka' (çaka) mempunyai beberapa penafsiran. Satu kelompok pendapat mengatakan saka
berasal dari bahasa Jawa 'soko' yang berarti 'dari'. Penganut penafsiran ini biasanya tidak rela
kalau bahasa Jawa dan aksara Jawa berasal dari India. Pada kenyataannya, istilah saka berasal dari
bahasa sanskerta yang otomatis bukan berasal dari bahasa Jawa. Saka sendiri merupakan nama suku Indo-Iran
dari stepa Eurasia yang mendiami Rajastan, Madya Pradesh, Gujarat, dan
Maharashtra. Herodotus sejarawan Yunani
Kuno abad 5 SM mengatakan bahwa semua orang Indo-Iran disebut dengan orang
Scythian atau orang Saka. Dengan
demikian, istilah çaka telah dilafalkan orang pada abad 5 Sebelum Masehi.
C.
MEDANG KAMULAN
Medang Kamulan merupakan kerajaan kuno yang disebut dalam
beberapa legenda berbeda dan beberapa manuskrip kuno. Kamulan berarti permulaan sementara Medang
merupakan kerajaan yang di kemudian hari dikenal juga dengan kerajaan Mataram Hindu. Dengan demikian, Medang Kamulan secara bahasa
bisa diartikan sebagai kerajaan pra-Medang.
Medang Kamulan merupakan kerajaan historis nyata karena disebut dalam
berbagai manuskrip kuno misalnya salah satu teks lontar yang menerangkan lokasi
Medang Kamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
“Mangka
wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu
tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling
warung.”
Dalam kaitannya dengan Aji Saka, Medang Kamulan merupakan
kerajaan yang dipimpin oleh raja Dewata Cengkar. Seorang raja yang digambarkan sebagai raksasa
zalim pemakan manusia namun bisa dikalahkan Aji Saka. Berdasarkan prasasti Canggal, kerajaan Mdang
atau Mataram Kuno berdiri tahun 732 Masehi sehingga kalau Aji Saka benar ada,
ia seharusnya hidup sebelum tahun 732 Masehi.
D.
PENANGGALAN
Sebagian cerita di Jawa mengatakan bahwa Aji Saka adalah
orang yang menciptakan penanggalan Saka.
Mari kita tengok cerita sejarah. Istilah
çaka memang terkenal karena menjadi tonggak penanggalan tahun Saka yang disebut
juga dengan kalender Sâlivâhana. Berbagai
sumber sejarah tertulis mengatakan bahwa Śālivāhana adalah
seorang raja di India. Ia menetapkan hari 'bulan
mati' bulan kesanga atau bulan Maret sebagai tanggal 1 - bulan 1 - tahun kesatu
pada tahun 78 Masehi. Kejadian penetapan
penanggalan tersebut juga berada di India, bukan di nusantara. Penanggalan Saka masih digunakan di masa sekarang
oleh umat Hindu Bali dengan sedikit modifikasi menjadi Kalender Saka Bali
berbentuk syamsiah-qamariah (candra-surya) atau kalender luni-solar. Meskipun dimodifikasi, perbedaan 78-79 tahun
dari tahun Masehi menunjukkan keterkaitan kalender Bali dengan kalender
Sâlivâhana di India. Dengan demikian,
penanggalan Saka di Indonesia jelas berakar dari India. Kalau Aji Saka merupakan penemu kalender
Saka, maka seharusnya ia adalah Sâlivâhana.
Sayangnya tidak ada sumber sejarah tertulis di India yang mengatakan
bahwa Sâlivâhana meninggalkan istananya untuk mengarungi lautan. Kejayaan telah diraih sehingga kalau sang
raja meninggalkannya akan menarik perhatian banyak orang dan pasti akan
tertulis di banyak sumber. Kenyataannya
tidak ada satupun. Sâlivâhana justru
tertulis mempunyai anak keturunan di kerajaannya. Jelas Sâlivâhana bukanlah Aji Saka.
E.
AKSARA JAWA
Aji Saka dikenal sebagai penemu aksara Jawa 'hanacaraka'. Apakah hanaraka itu? Hanacaraka adalah deretan awal aksara Jawa
yang dilanjutkan dengan datasawala, padajayanya, dan terakhir
magabathanga. Aksara Jawa modern saat
ini sedikit berbeda dengan aksara Jawa tempo doeloe yang dikenal dengan aksara Jawa
Kuno (= Kawi) dan menjadi aksaranya para penyair.
Apabila kita mendalami ilmu paleografi yang mempelajari
aksara kuno, akan diketahui bahwa aksara Kawi berasal dari Aksara Pallawa (=Pallava)
yang mengalami penyederhanaan bentuk huruf pada sekitar abad 8 Masehi. Aksara Pallawa itu sendiri merupakan turunan
Aksara Brahmi dan berasal dari daerah India bagian selatan. Aksara Pallawa ini menjadi induk semua aksara
daerah di Asia Tenggara (misalnya Aksara Thai, Aksara Batak, dan Aksara Birma).
Semuanya bukan tanpa bukti karena prasasti-prasasti
bertebaran di Indonesia. Marilah kita
urutkan lebih detail lagi. Huruf Pallawa
pertama digunakan dalam prasasti Tugu di Bogor sebelum tahun 700 Masehi. Huruf Pallawa terakhir digunakan dari abad 7
hingga 8 Masehi misalnya dalam prasasti Canggu.
Huruf Jawa Kuno pertama digunakan dari tahun 750 hingga 925 Masehi
seperti dalam prasasti Polengan di Kalasan.
Huruf Jawa Kuno terakhir digunakan dari tahun 925 hingga 1250 Masehi
misalnya dalam prasasti Airlangga. Huruf
Jawa Kuno masa Majapahit digunakan dari tahun 1250 hingga 1450 Masehi misalnya
dalam lontar Kunjarakarna. Huruf Jawa
baru digunakan tahun 1500 hingga sekarang dimulai dari kitab Bonang (het book van Bonang) pada masa kerajaan
Demak. Aksara ini digunakan oleh para
wali di tanah Jawa dan menyebar hingga sekarang.
Perubahan aksara-aksara tadi tidak serta-merta begitu
saja. Jadi dalam satu jaman tidak
terdapat aksara pallawa akhir dan aksara jawa kuno pertama secara bersamaan,
melainkan beberapa huruf pallawa berubah menjadi huruf Jawa kuno. Istilah dibuat oleh manusia, demikian pula
dengan istilah aksara pallawa dan jawa kuno.
Pada kenyataannya, aksara tersebut hanya berubah sedikit demi sedikit
dalam jangka waktu ratusan hingga lebih dari seribu tahun. Istilah kerennya adalah ber-evolusi. Jadi aksara hanacaraka tidak diciptakan
langsung makbedunduk begitu saja. Aksara
hanacaraka merupakan hasil akhir dari proses lebih dari seribu tahun.
NYATA
atau REKAAN?
Dari ulasan AJI tampak bahwa istilah aji merupakan
istilah kuno sehingga bisa saja Aji Saka memang ada. Dari ulasan SAKA, tampak bahwa istilah saka
berasal dari India. Kalaulah Aji Saka
merupakan nama orang, ia pasti berasal dari India atau sekurang-kurangnya
diberi nama dengan pengaruh kuat dari India.
Berdasarkan PENANGGALAN, seseorang bisa saja mempunyai nama Aji Saka setelah
tahun 78 Masehi karena istilah saka mulai populer di nusantara setelah tahun 78
Masehi. Dari ulasan MEDANG KAMULAN,
tampak bahwa legenda Aji Saka berlatar waktu sebelum Mataram Kuno alias sebelum
tahun 732 Masehi. Dengan demikian, posibilitas
masa hidup Aji Saka adalah antara tahun 78 hingga 732 Masehi.
Sekarang mari kita lihat dari sisi yang paling penting
dan menentukan, yaitu aksara. Dalam ulasan
AKSARA, tampak bahwa aksara Pallawa berevolusi di tanah Jawa menjadi aksara
Kawi kemudian menjadi aksara Jawa modern saat ini. Era aksara Pallawa berakhir di abad 8 Masehi. Pada saat Sanjaya menegakkan lingga pendirian
kerajaan Medang (=Mataram Hindu) tahun 732 Masehi, ia memerintahkan citralekha
menuangkannya dalam prasasti batu cantik menggunakan aksara Pallawa dengan
bahasa Sanskerta. Ya, aksara Pallawa
masa akhir. Aksara Jawa Kuno yang paling
tua ditemukan (hingga saat ini) adalah prasasti Dinoyo berangka tahun 760
Masehi.
Berdasarkan data singkat di atas, tampak tidak logis
kalau Aji Saka menciptakan hanacaraka setelah tahun 732 Masehi karena Medang
Kamulan sebagai setting waktu merupakan kerajaan yang eksis sebelum 732
Masehi. Huruf Jawa Kuno pertama kali muncul
tahun 760 Masehi dan itupun belum sempurna karena masih terus berevolusi hingga
diakhiri Sunan Bonang tahun 1500an Masehi. Tiga puluh satu konsonan hidup dalam aksara
Pallawa berevolusi menjadi 20 konsonan hidup dalam jangka waktu ratusan tahun.
Pengarang legenda Aji Saka ingin mengaitkan Aji Saka
dengan perubahan aksara Pallawa akhir menjadi aksara Kawi awal namun ia tidak
tahu kapan huruf Pallawa berakhir. Prasasti
Canggal baru ditemukan tahun 1884 Masehi.
Salah satu manuskrip yang memuat kisah Aji Saka (yaitu Babad
Sengkalaning Momana) ditulis oleh Pangeran Suryonegoro tahun 1865. Andai prasasti Canggal yang masih bertuliskan
huruf Pallawa ditemukan 19 tahun lebih cepat, mungkin pangeran yang cerdas ini
akan berpikir ulang dalam menulis cerita Aji Saka.
Dalam satu bagian cerita, Aji Saka digambarkan membawa
20.000 keluarga dari India. Jumlah yang
banyak namun logis saja sebenarnya karena Dapunta Hyang Shri Jayanasa penguasa
Sriwijaya pernah memberangkatkan 20.000 tentara menggunakan perahu. Demikian pula dengan Laksamana Cheng Ho yang
membawa 27.000 awak dengan 307 kapal. Kalau
yang dibawa Aji Saka 20.000 keluarga tanpa keahlian kemaritiman, mereka harus
dibawa oleh awak kapal yang tidak sedikit sehingga kemungkinan total manusia
yang dibawa Aji Saka kurang lebih sama dengan Cheng Ho. Jumlah yang sangat besar namun mungkin dilakukan. Yang mengherankan adalah, tidak ada bukti
tertulis yang menceritakan rombongan besar tersebut. Seharusnya ada peninggalan prasasti, lontar,
manuskrip, atau legenda mirip-mirip yang diceritakan di berbagai daerah yang
dilalui oleh rombongan. Sebagaimana
terkenalnya rombongan Cheng Ho di berbagai daerah yang dilaluinya. Dengan demikian cerita Aji Saka membawa
20.000 keluarga adalah hoax.
Selain studi paleografi, bantahan legenda Aji Saka adalah
dari segi genetik. Sebelum mengaitkan
dengan Aji Saka, mari kita ingat fakta yang lebih mudah kita pahami terlebih
dahulu. Bangsa Indonesia pernah dijajah
oleh berbagai suku bangsa dunia dan masih meninggalkan jejak genetik di bekas
tanah jajahannya. Maka tidak heran di
Aceh masih terdapat gadis bermata biru, di Depok masih banyak indo-Belanda
berlogat Betawi, di kampung arang Purworejo terdapat keturunan tentara Afrika,
dan begitu pula di berbagai pelosok Indonesia masih didapati orang-orang yang
penampilan fisiknya berbeda dengan suku-suku yang ada di Indonesia. Kemungkinan besar mereka adalah keturunan
genetis dari bangsa manca yang pernah singgah di nusantara.
Nah salah satu bagian dari cerita legenda Aji Saka adalah
wujud Prabu Dewata Cengkar beserta kroni atau "bangsa"nya yang digambarkan sebagai raksasa
pemakan manusia. Kanibalisme bisa
terjadi di berbagai belahan dunia sehingga bagian kanibalisme tidak perlu diperdebatkan. Yang dipermasalahkan adalah genetik raksasa
yang seharusnya sedikit atau banyak tetap diwariskan kepada anak turunnya. Kalaupun Dewata Cengkar tidak mempunyai anak
turun, suku raksasanya seharusnya tetap mempunyai anak turun. Kenyataannya, di area sekitar Demak (sebagai lokasi legenda) atau
daerah tertentu di Jawa tidak didapati sekumpulan manusia bertubuh raksasa
dibanding ukuran manusia Jawa pada umumnya.
Yang ada hanya satu dua gigantisme yang juga terdapat di berbagai bangsa
lain. Jumlahnya hanya satu dua kasus
dalam setiap negara, tidak sampai menjadi sebuah suku. Dengan demikian, suku raksasa tersebut adalah
hoax belaka. Sama hoaxnya dengan
penggambaran Aji Saka sebagai penemu hanacaraka.
Akan berbeda kalau cerita legenda tersebut merupakan
karya sastra yang bermakna filosofis, maka
itu sah-sah saja. Misalnya sifat buruk
dan angkara murka digambarkan dengan sosok raksasa. Sementara cerita Dora dan Sembada asisten Aji
Saka yang melahirkan hanacaraka merupakan puitisasi alfabet Jawa. Puitisasi yang sangat indah karena rimanya
konsisten dan mampu membentuk cerita. Huruf
a b c d e f g tidak mampu membentuk cerita bukan? Aji Saka merupakan nama bermakna filosofis
yang dalam. Puitisasinya juga sangat
dalam. Namun bukan berarti harus
dianggap sebagai penemu aksara yang berevolusi selama seribu tahun.
pendapat ini mirip dengan pendapatnya Mas Radhar Panca Dahan, Budayawan Indonesia terkemuka bahwa ajisaka cuma mitos yg dibuat imperialisme kolonialis India antas Nusantara
BalasHapustapi, mungkin perlu dikaji ulang, sebab ada teori lain. berikut:https://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/03/26/legenda-ajisaka-mengungkap-zuriat-nabi-ishaq-di-nusantara-2/
BalasHapushttps://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/03/26/legenda-ajisaka-mengungkap-zuriat-nabi-ishaq-di-nusantara-2/
BalasHapushttps://ahmadsamantho.wordpress.com/2018/05/03/atlantis-dan-budaya-maritim-nusantara/
BalasHapusmenurut saya cerita ajisaka adalah sebuah mitologi yang diyakini oleh orang jawa, dan didalam ceritanya mengandung petuah yang baik untuk di teladani oleh seorang pemimpin, terlepas dalam hal "apa cerita ajisaka nyata atau hoax" menurut saya hal ini tidak perlu dipermasalahkan terlalu dalam dikarenakan cerita ini tergolong dalam mitologi keyakinan yang muncul dan diceritakan melalui mulut kemulut sehingga tidak heran apabila kerangka atau asal- usul cerita ajisaka terkadang memiliki banyak cabang
BalasHapus