Candi Selogriyo merupakan candi peninggalan agama
Hindu di Dusun Campur Rejo, Desa Kembang Kuning,
Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini diperkirakan dibangun sejaman
dengan candi dataran Dieng yaitu pada abad 8 – 9 Masehi oleh wangsa Sanjaya
jaman kerajaan Mataram Kuno. Berdasarkan penuturan turun temurun, para prajurit Kediri yang kalah perang bersembunyi di tempat ini karena lokasinya jauh dari
pemukiman namun mempunyai ketersediaan pangan.
Candi Hindu ini dinamai Selogriyo oleh penduduk
setempat sejak jaman dulu. Selo berarti
batu sedangkan griyo berarti rumah.
Jadi, Selogriyo bermakna rumah batu.
Penamaan Selogriyo diperkirakan jauh setelah masa kejayaan Hindu dan
candi telah ditinggalkan penganutnya. Bangunan
batu di hutan dianggap seperti sebuah rumah dari batu. Sangat berbeda dengan candi-candi lain yang
meski masyarakat tidak mengetahui nama aslinya namun selalu menyematkan kata
candi di depannya (candi Asu, candi Lumbung, candi Mendut, dll).
Candi Selogriyo saat ini dapat ditempuh dengan
sepeda motor sejauh kurang lebih 2 kilometer dari desa terakhir. Bagi
yang ingin menikmati perjalanan dengan pemandangan sawah terassiring biasanya
memilih berjalan kaki sambil menikmati bentangan alam yang indah. Candi
Selogriyo memiliki banyak keunikan yang akan dijelaskan lebih lanjut di bagian
bawah.
PENEMUAN
CANDI
Sebagaimana umumnya sejarah penemuan candi-candi di
Indonesia, candi Selogriyo tidak pernah hilang karena telah diketahui
keberadaannya oleh masyarakat setempat.
Keberadaan candi Selogriyo tersebar ke khalayak luas setelah dilaporkan oleh Residen
Hartmann di masa penjajahan Belanda tahun 1835.
Lima tahun kemudian tepatnya bulan April 1840, candi ini sempat
didokumentasikan oleh Franz Wilhelm Junghuhn dalam bentuk sketsa lithografi
saat melakukan ekspedisi botani pertama di pulau Jawa. Candi Selogriyo pada tahun itu masih cukup baik dengan hamparan paving stone di halaman depan dan tangga naik persis di depan candi. Di kanan kiri tangga ada beberapa arca berbentuk hewan. Ada pula sebuah lingga yang tidak menutup kemungkinan merupakan lingga prasasti. Junghuhn tidak begitu concern dengan epigrafi sehingga tidak memperhatikan apakah pada lingga tersebut terdapat ukiran tulisan ataukah tidak. Bagian depan candi Selogriyo tersebut kini telah musnah tidak diketahui keberadaannya. Meski telah ditemukan sejak 1835, candi Selogriyo baru ditetapkan sebagai bangunan cagar
budaya pada tahun 2010 dengan nomor penetapan PM.57/PW.007/MKP/2010.
LOKASI
Salah satu keunikan candi Selogriyo yang berkoordinat 7,423611°LS 110,153611°BT (7” 36’ 16,000 LS 110* 16’ 20,000* BT) adalah seakan-akan dilindungi oleh 3 bukit yaitu Giyanti, Condong, dan Malang. Jarang sekali sebuah candi dibangun di ceruk tiga bukit semacam ini. Ada dua gunung besar di dekatnya (gunung Sumbing dan gunung Sindoro) namun candi Selogriyo justru menghadap ke gunung yang jauh yaitu ke timur (arah Merapi – Merbabu). Diperkirakan, nenek moyang menemukan beberapa fenomena di lokasi ini yaitu arah hadap ke timur sesuai syarat pembuatan candi hindu, menghadap ke gunung sesuai kepercayaan Jawa kuno, terlindungi tiga bukit dari “serangan” gunung berapi Sumbing dan Sindoro yang saat itu masih aktif, ketersediaan bahan baku batu yang melimpah, dan adanya aliran air untuk bercocok tanam sebagai biaya pemeliharaan candi. Area candi Selogriyo memang kaya akan batu. Sayangnya struktur tanah setempat sangat rawan longsor. Tidak terhitung longsor kecil maupun besar yang terjadi di daerah candi hingga desa Kembang Kuning di bawahnya. Fenomona longsor di area candi Selogriyo diakibatkan akumulasi air di bagian kaki lereng. Penyebab utama keruntuhan lereng di lokasi Candi Selogriyo adalah bangunan pelimpah konstruksi pengambilan air (capturing) yang terletak di sebelah hulu Candi Selogriyo tidak mampu mengalirkan air yang melimpah ke sungai torrencial, sehingga air menyebar secara horizontal.
ARAH HADAP
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHJfbgRh11ShXv7QWSBMi3IUZMmCVS1IShgEUyRqIaokAgyLNZi3i78Q1cb1XuSi9znR43744ktpQK0PX9KAs8KbqbmvHdSqvzhracD_4k5gCM4tWc_GWvYnCaC7SZC3nL7YxpADTrdnoM/s400/IMG-20170513-WA0114.jpg)
KETINGGIAN
Candi Selogriyo saat ini berada di dataran kecil
seluas 300 meter persegi dari keseluruhan luas tanah pemkab 1.195 meter persegi. Ketinggian lokasi masih sama dengan keadaan
semula yaitu 740 mdpl.
PRASASTI
Candi Selogriyo merupakan satu dari banyak candi
yang tidak ditemukan prasasti di dekatnya.
Tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya bangunan keagamaan ini
namun secara ciri arkeologis diperkirakan sejaman dengan candi di Dieng di abad
8 – 9 Masehi. Tidak menutup kemungkinan
adanya prasasti di depan candi namun hilang terkena longsor seperti yang
terjadi pada prasasti Canggal setelah terjungkal kebawah .
Meski tidak ditemukan prasasti in situ, dalam
prasasti Mantyasih 1 tahun 907 M disebutkan adanya desa Kuning yang saat itu mendapatkan
gangguan keamanan dari penjahat dan hewan liar (muang sangka yan antaralika katakutan ikanang wanua ing kuning. Sinarabharanta ikanang patih rumakea ikanang
hawan). Desa Kuning disini
diperkirakan adalah desa Kembang Kuning.
Adapun candi Selogriya menurut epigraf M.M. Sukarto K. Atmodjo merupakan
candi yang saat itu disebut dengan Silabhedeswara, yaitu satu dari lima candi
yang penduduk Mantyasih harus melakukan kebaktian setahun sekali disana (lain sangke kapujan bhatara i
malangkuseswara, ing puteswar, i kutusan, i silabhedeswara, i tuleswara, ing
pratiwarsa).
Apabila benar candi Selogriyo merupakan candi yang
saat itu disebut Silabhedeswara, maka candi Selogriyo telah berdiri sebelum
tahun 907 Masehi.
PEMUGARAN
Candi Selogriyo berada di lokasi rawan longsor sehingga saat ini harus diikat menggunakan pengikat khusus agar badan candi tidak mudah runtuh. Candi ini tercatat pernah runtuh pada musim
penghujan bulan Desember 1998.
Reruntuhan harus dipindah ke bawah bukit dan tumpukan batu di bawah mengalami vandalisme disana-sini. Pemugaran baru selesai tahun 2005. Lokasi candi saat ini dimundurkan dari
lokasinya semula di bibir bukit agar aman dari longsor. Diperkirakan halaman candi semula cukup luas
namun di bagian depan telah longsor sementara di sekeliling belakang candi juga
terkena longsoran bukit di sekitarnya sehingga halaman candi menyempit.
Jauh sebelum runtuh tahun 1998, sebenarnya candi
Selogriyo pernah runtuh pada tahun 1957 namun tidak dilaporkan secara resmi. Mungkin karena masa awal kemerdekaan membuat
administrasi kepemerintahan belum cukup sempurna. Pada saat keruntuhan 1957 itu, tembok candi
runtuh dan ditemukan beberapa relik.
ARSITEKTUR
Arsitektur candi Selogriyo mempunyai keunikan
dibanding candi corak Hindu lainnya, yaitu tidak mempunyai candi Perwara dan
tidak mempunyai tangga naik. Pada
umumnya, candi Hindu mempunyai tangga naik namun tidak dengan candi Selogriyo
yang pintu masuknya sangat pendek dekat dengan tanah tempat berdirinya.
Dimensi
![]() |
Kemuncak Amalaka (Keben |
![]() |
Dimensi Bujursangkar |
Relung
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTmoRfu35_R3VLk-phTJWSvbwMeMKF7naaA-tdiEWbLFZMUlHKI4lpKz7_K5LqD3xGqiUz7bOsq3ilpXrQuf_JaVsLywFqD9fkbEpxc1eZus6gSCThuXw0eEn2vtLu5Wf9FwTkqIkREga4/s320/18902017-2.jpg)
Bilik Utama
Pada
candi Hindu, bilik utama biasanya berisi lingga dan yoni. Pada saat ditemukan, di bilik utama candi
Selogriyo sudah tidak ditemukan lingga dan yoni.
TEMUAN
ARKEOLOGIS
Candi Hindu dibangun menggunakan panduan khusus dari India yang mencakup ukuran bilik utama (garbagraha) dan apa yang ada di dalamnya maupun di bawahnya. Candi Selogriyo mempunyai beberapa penyimpangan dibanding candi-candi Hindu lainnya.
Temuan arkeologis yang menarik di candi Selogriyo adalah lima kotak batu putih berongga yang sering disebut kotak peripih dan ada yang menyebutnya sebagai kotak abu (jenazah raja). Mereka ditemukan tersembunyi di empat sudut candi dan di tengah dinding utara bagian bawah (di level lantai). Anehnya, tidak ditemukan kotak di tengah candi dan tidak ditemukan sumuran sebagaimana umumnya. Kondisi tersebut merupakan penyimpangan dari aturan baku pembuatan candi Hindu.
Temuan arkeologis yang menarik di candi Selogriyo adalah lima kotak batu putih berongga yang sering disebut kotak peripih dan ada yang menyebutnya sebagai kotak abu (jenazah raja). Mereka ditemukan tersembunyi di empat sudut candi dan di tengah dinding utara bagian bawah (di level lantai). Anehnya, tidak ditemukan kotak di tengah candi dan tidak ditemukan sumuran sebagaimana umumnya. Kondisi tersebut merupakan penyimpangan dari aturan baku pembuatan candi Hindu.
Di dalam kotak peripih Selogriyo ditemukan periuk perunggu berisi
potongan lembaran emas, lembaran perunggu, batu semi mulia, beras, jelai,
ramuan rempah-rempah, gabah millet, cengkih, daun pisang sebagai pembungkus,
dan fragmen tulang. Selain itu, di bawah
arca Durga di relung utara ditemukan lembaran emas. Di relung lainnya tidak ditemukan apa-apa
namun terlihat bahwa bagian bawah masing-masing arca sudah tidak sesuai lagi
penempatannya alias telah diambil oleh pemburu harta karun.
Fakta ditemukannya peripih di empat sudut dan satu di
tengah dinding bagian bawah tersebut menimbulkan pertanyaan apakah di ketiga
dinding lainnya pada awalnya juga terdapat peripih. Penempatan kotak peripih di delapan penjuru
mata angin pernah ditemukan di candi Bukit Batu di Kedah Malaysia sehingga
dengan banyaknya paving batu candi Selogriyo yang hilang antara tahun 1840 –
1953, diperkirakan ketiga peripih lainnya telah diambil orang. Kotak peripih yang ditemukan disimpan di Museum
Nasional di Jakarta dengan nomor 6191 – 6177, 6251 – 6257, dan 6518 –
6522. Yang lainnya ada di kantor
Institute Arkeologi Prambanan.
Pada candi Bukit Batu juga tidak ditemukan sumuran,
sedangkan lembaran emas dalam peripih berbentuk dewi Parwati. Sayangnya lembaran emas dan perunggu di candi
Selogriyo tidak dijelaskan berbentuk apa.
Penempatan kotak peripih di delapan penjuru mata angin merupakan aplikasi teori Mandala dan adanya
lembaran emas berbentuk dewa-dewi dianggap sebagai salah satu ciri
Tantrayana. Siwa Tantra dan Budha Tantra
memiliki sedikit hubungan. Karena di
candi Selogriyo terdapat arca Durga Mahisasuramardhini dan arca Hindu lainnya, maka candi Selogriyo
bisa disebut sebagai candi Siwa Tantra.
Durga Mahisasuramardhini di candi Selogriyo merupakan parswadewata yang
di India sering difungsikan sebagai dewi pelindung biji-bijian, sesuai dengan area agraris di sekitar candi Selogriyo.
MAKNA
Makna mempelajari sejarah dan arkeologi dalam hal ini candi Selogriyo adalah, bahwa di pelosok hutan desa Kuning pada jaman dahulu telah ada peradaban. Saat itu kebetulan agama Hindu sedang menjadi agama mayoritas. Datangnya ajaran-ajaran baru ke area ini tidak menimbulkan pergolakan. Saat ini bahkan yang menjaga bangunan peninggalan Hindu bukanlah penganut Hindu melainkan masyarakat umum yang berbeda agama. Karena itu, menjaga kerukunan antar agama merupakan budaya yang perlu kita lestarikan bersama.
(Novo Indarto)
MAKNA
Makna mempelajari sejarah dan arkeologi dalam hal ini candi Selogriyo adalah, bahwa di pelosok hutan desa Kuning pada jaman dahulu telah ada peradaban. Saat itu kebetulan agama Hindu sedang menjadi agama mayoritas. Datangnya ajaran-ajaran baru ke area ini tidak menimbulkan pergolakan. Saat ini bahkan yang menjaga bangunan peninggalan Hindu bukanlah penganut Hindu melainkan masyarakat umum yang berbeda agama. Karena itu, menjaga kerukunan antar agama merupakan budaya yang perlu kita lestarikan bersama.
(Novo Indarto)
Terima kasih mas Novo
BalasHapusCerita mengenai candi Selogriyo yang saya baca paling lengkap.
Terima kasih sama2...maaf sangat slow respon.
Hapus