Dipublikasikan pertama kali tanggal 26 Januari 2014
oleh Novo Indarto
(Seri 4)
Pada tanggal 3 Agustus 1811, Gubernur Jendral India yaitu
Gilbert Elliot Murray Kynynmound atau Earl Minto pertama mengultimatum agar
Janssens menyerahkan Jawa. Permintaan itu tentu ditolak. Kita tahu jalur
Daendels telah disiapkan untuk menanggulangi serangan Inggris.
Janssens bukanlah seorang perwira lapangan yang cakap taktik
strategi berperang seperti Daendels. Janssens memang pandai dalam urusan
logistik, namun bukan dalam hal memimpin pasukan. Dia tidak lebih dari perwira
salon, demikian Mayor Jenderal Sir Samuel Auchmuty yang menemani Earl Minto dan
ditunjuk memimpin armada Inggris mendefinisikan karakter Jenderal Janssens yang
berkuasa 6 bulan itu.
Akibatnya, tidak banyak yang dilakukan oleh Janssens ketika
pasukan Inggris dengan kekuatan 60 kapal menyerang Batavia dibawah komando
Kolonel Gillespie pada tanggal 26 Agustus 1811 kecuali mundur ke Bogor. Dari
Bogor Janssens dan pasukannya mundur ke Semarang. Di sana Janssens mendapat
tambahan pasukan Eropa dari garnisun Semarang dan Surabaya. Ditambah lagi
prajurit dari Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Legiun Mangkunegara pimpinan
Prang Wedana juga diberangkatkan dari Surakarta untuk membantu pihak
Perancis-Belanda. Pasukan-pasukan bekas kerajaan Mataram itu beriring-iringan
melewati Magelang dengan gagah. Tapi pemimpin kadang adalah segalanya. Meski
diberi bantuan pasukan Jawa yang cakap dan keadaan geografis di Semarang
menguntungkan pihak Perancis-Belanda, namun hal itu tidak membuat pasukan
Perancis-Belanda berhasil memukul mundur pasukan Inggris. Yang terjadi justru
kebalikannya. Serangan yang bertubi-tubi dan mengejutkan dari pihak Inggris
berhasil membuat Janssens memutuskan untuk mundur ke Ungaran.
Di Ungaran terdapat sebuah benteng yang bisa digunakan sebagai
tempat perawatan pasukan yang luka-luka, namun belum sempat memulihkan kondisi
pasukan dan mengatur siasat, pasukan Inggris telah berhasil menyeberangi
jembatan di dekat Benteng Ungaran. Janssens dan beberapa pasukan yang tersisa
terpaksa mundur ke Tuntang.
Akhirnya di Tuntang setelah pihak Inggris dibawah komando
Kolonel Gibbs melakukan tekanan, Jenderal Janssens menyatakan menyerah kepada
Inggris tanggal 18 September 1811 (dikenal dengan Kapitulasi Tuntang). Pihak
Prancis jarang sekali disebut oleh penulis-penulis Indonesia, padahal Jendral Jumael
turut menyerah empat hari kemudian tanggal 22 September 1811 di sebuah benteng
di Salatiga. Sebelumnya, saat di Batavia anak buahnya yaitu Kolonel Mulder
meledakkan diri di gudang mesiu dan jenazahnya beserta para anak buahnya
dibenamkan di rawa bangke. Setelah menang, Inggris membawa Jenderal Jumael dan
anak buahnya ke Calcutta, India. Jumlah tawanan Prancis-Belanda adalah 6.000
orang, 62 tentara Inggris tewas, 371 tentara gabungan Eropa luka, dan 13
tentara Sepoy tewas.
Dengan Kapitulasi Tuntang, maka Jawa resmi jatuh di tangan
Inggris. Kalau tentara Prancis dibawa ke Calcutta India, maka lagi-lagi tentara
dan opsir Belanda tidak ditawan namun dipekerjakan oleh pihak Inggris. Earl
Minto menunjuk Thomas Stamford Raffles dari sipil untuk menjadi pemimpin Hindia
Belanda, satu-satunya pemimpin Hindia Belanda yang berpangkat Letnan Jendral
(seingkat di bawah Gubernur Jenderal) namun kemudian hari dianggap penguasa
Hindia Belanda terbesar.
Masa itu adalah masa kerajaan. Kalau Kasunanan Surakarta tunduk
pada Inggris, maka tidak dengan Kasultanan Yogyakarta yang membawahi Magelang.
Ia menjadi satu-satunya wilayah di Jawa yang belum takluk.
Tanggal 19 Juni 1812, Kolonel Robert Rollo Gillespie yang
menganut freemason ini menyerang keraton Yogyakarta. Yogyakarta diperkuat oleh
100 pucuk pistol dan 30.000 pasukan bersenjata tradisional. Sementara Gillespie
hanya membawa 1500 pasukan bersenjata api lengkap yang secara resmi diklain
tidak satupun tewas. Untuk menghadapi pasukan tradisional Yogyakarta yang
terkenal tangguh, ia mengerahkan pasukan Sepoy dari India yang terkenal tangguh
pula. Karena itu pulalah perang/geger di keraton ini disebut sebagai Geger
Sepoy. Keraton digempur dari sisi pojok benteng di Wijilan.
Keesokan harinya tanggal 20 Juni 1812, Sultan HB II beserta
keluarga berpakaian putih-putih, bendera putih dikibarkan, dan kursi-kursi juga
dibalut kain putih. Gillespie yang tertembak lengan kirinya oleh tentara
Suronatan menyerbu masuk keraton dengan beringas. Ia menyabetkan pedangnya ke
kanan-kiri menebas pasukan kraton yang tersisa. Sultan HB II beserta keluarga
dilucuti semua perhiasan emas permatanya termasuk keris pribadi sultan. Semua
terjadi sebelum pukul 9 pagi. Mereka digiring berjalan kaki menuju rumah
residen di seberang benteng Vredeburg. Hal yang memalukan untuk seorang raja di
masa kolonial. Dikawal oleh pasukan sepoy dengan sangkur terhunus. Sampai
gedung residen, beberapa pangeran telah menunggu. Beberapa masih segan dan
berdiri tanda hormat dan sebagian tetap duduk tak bergeming tanda tak hormat.
Dalam penangkapan ini terungkap pula bahwa 200 tahun sebelum
Moammar Qadafi dikawal oleh bodyguard cantik, Sultan HB II telah memiliki 300
pengawal cantik yang lemah lembut namun tangkas menembak dan berkuda. Tidak
diketahui nasib 300 wanita ini setelah ikut ditangkap. Selain pengawal, salah
satu istri Putra mahkota dilucuti perhiasan emas dan baju kebesarannya yang
bertahtakan batu mulia. Seorang tentara Inggris tewas ditikam wanita kraton
saat mau menangkapnya untuk diperkosa.
Saat tertidur di tahanan sebelum diasingkan, kancing emas
bertahtakan berlian pada baju sultan dicopoti oleh petugas Sepoy yang berjaga.
Pedang dan belati sultan dilucuti dan diserahkan pada Earl Minto sebagai simbol
penaklukan. Bukan itu saja, perampokan besar-besaran sepanjang sejarah keraton
dilakukan oleh Inggris.
Sekitar 7000 manuskrip diklaim Sultan HB X dijarah dan diangkut
selama seminggu menggunakan pedati. Total pengangkutan sekitar lima kali.
Manuskrip tersebut hingga 2012 belum dikembalikan. Kuli pengangkut pedati juga
bukan abdi dalem tetapi bekas pengawal dan keluarga sultan sendiri. Sungguh
terhina sekali. Gillespie menjarah uang keraton sejumlah 800.000 dollar
Spanyol. Sebesar 74.000 dollar Spanyol (lebih dari Rp 27 miliar untuk kurs saat
ini) untuk dirinya sendiri, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di bawahnya.
Sebagian lagi, sebesar 7.000 dollar Spanyol (lebih dari Rp 2,5 miliar untuk
kurs saat ini) dibagikan kepada legiun Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran
yang merupakan musuh bebuyutan kraton Jogja. Raffles sendiri mengambil harta
keraton senilai 200.000 hingga 1.200.000 dollar Spanyol.
Dengan demikian, ucapan opsir Inggris bernama Kapten William
Thorne tiga tahun setelah geger sepoy : "Semua perempuan yang berada di
hunian dalam keraton tetap dihormati, dan kepemilikan harta mereka turut
dilindungi. Dalam kesempatan seperti ini diperlukan disiplin yang sangat tegas
bahwa tak satu pun orang dianiaya ataupun kebiadaban berlangsung.” adalah omong
kosong belaka.
Kemenangan Inggris atas Hindia Belanda membuat Robert Rollo
Gillespie naik jabatan menjadi pimpinan angkatan bersenjata di Hindia Belanda
dengan pangkat Mayor Jendral pada 1 April 1812 sementara Samuel Auchmuty
menjadi Letnan Jendral. Pada bulan Oktober Gubernur Jendral Earl Minto dan
Letjend Samuel Auchmuty kembali ke India, begitu pula Mayjend Gillespie turut
meninggalkan Hindia Belanda menuju peperangan lain setelah posisinya digantikan
Sir Miles Nightingale. Ia tewas tertembak tepat di jantung oleh orang Nepal
saat perang disana tahun 1 Oktober 1814. Auchmuty menyusul tewas 11 Agustus
1822 karena jatuh dari kuda di Irlandia.
Kekalahan Yogyakarta terhadap Inggris berdampak langsung
terhadap Magelang. Pada 1 Agustus 1812 Yogyakarta harus menyerahkan pengurusan
wilayah Kedu kepada Raffles yang kemudian membagi pulau Jawa menjadi 16
karesidenan. Saat itu Kedu terdiri dari Magelang dan Temanggung.
Wilayah-wilayah kabupatenpun terbentuk dan bagi yang belum ada bupati
diangkatlah bupati pertama seperti di Magelang. Bupati Magelang dipilih dari
pegawai di Keraton Yogyakarta bernama Danoekromo. Atas petunjuk dari gurunya
beliau memilih daerah antara desa Mantiasih dan desa Gelangan sebagai pusat
pemerintahan.
Dari uraian di atas, maka tulisan majalah Magelang Vooruit
November 1935 yaitu : "Pada permoelaan tahoen 1810 oleh orang Inggris jang
waktoe itoe memegang pemerintahan disini, Magelang dipilih djadi iboe negeri
kaboepaten jang senama,....." dirasa kurang tepat karena Inggris
menaklukkan nusantara pertama kali di Maluku 1811 sedangkan menaklukkan Yogyakarta
(dengan Magelang di dalamnya) baru tahun 1812, bukan permulaan 1810.
Bupati Magelang pertama diangkat oleh Raffles dengan ketetapan
gubernur seperti yang tercantum dalam majalah tadi : ".....menoeroet
beslit Goebernemen pada 30 Nopember 1813 Mas Angabei Danoekromo ditetapkan
dalam djabatannja oleh Pemerintah Belanda bergelar Raden Toemenggoeng
Danoeningrat."
Adapun ulasan lengkap
tentang bupati pertama ini akan disampaikan dalam seri selanjutnya. :) Penemuan candi raksasa di Magelang
selama pendudukan Inggris ini juga akan diulas pada seri mendatang. :)
Inggris mengakhiri kekuasaan di Indonesia banyak disebut penulis
karena Konvensi Wina. Konvensi Wina yang disebut-sebut sebagai konggres besar
beberapa negara termasuk Rusia ini, sebenarnya hanya berupa pertemuan beberapa
kali di tempat biasa. Bukan sebuah pertemuan formal di depan meja dan tanpa
notulensi dll. Dilaksanakan selama beberapa kali dari 1 September 1814 hingga 9
Juni 1815. Pada tanggal 4 Mei 1814, Napoleon Bonaparte ditangkap dan dibuang ke
Pulau Elba. Berkelanjutan dengan runtuhnya kekuasaan Prancis, maka diadakan
Konvensi London (sebelum Traktat London) tanggal 13 Agustus 1814 yang
menghasilkan : Inggris berjanji mengembalikan kepada Belanda daerah jajahannya
yang pernah direbut sejak tahun 1803, termasuk di dalamnya Jawa. Pergantian
kekuasaan dari Inggris ke Belanda dilaksanakan tanggal 19 Agustus 1816 di
Benteng Willem II Ungaran. Pihak Inggris diwakili oleh John Fendall. Sementara
dari pihak Belanda, Raja Willem mengirimkan tiga Komisaris Jenderal yaitu C.
Th. Elout sebagai kepala komite; Buyskes seorang komandan angkatan laut; dan
Van der Capellen yang ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal tiga hari sebelum
pergantian kekuasaan. Maka, babak baru berupa penjajahan Belanda pun DIMULAI
dengan ditunjuknya G.A.G.Ph. Van der Capellen tanggal 19 Agustus 1816 sebagai
Gubernur Jendral Belanda resmi pertama, atau Gubernur Jendral ke 41 yang pernah
memimpin Hindia Belanda.
____________________
Boleh share dan copas dengan menyebut sumbernya. Trmksh.
____________________
Boleh share dan copas dengan menyebut sumbernya. Trmksh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar