Boog Kotta Leiding :
Saat
Kota ini Bercerita tentang Air
Penyusun : Novo
Indarto
Courtesy of KITLV |
PENDAHULUAN
Air adalah
kehidupan. Itulah alasan kenapa manusia
(di masa lalu) akan membangun rumah di dekat sumber air. Saat manusia-manusia lain ikut membangun
rumah tidak jauh darinya, akan tercipta pemukiman yang tumbuh secara
alami. Untuk kota yang sengaja dibangun,
pasti dipertimbangkan darimana ia akan mendapatkan air. Magelang merupakan sebuah kota yang sangat
tua, telah terdeteksi keberadaannya sejak sebelum tahun 907 Masehi (desa
Mantyasih). Mantyasih yang saat ini
ditengarai sebagai wilayah Meteseh berada di Progo Valley, tidak jauh dari
sungai. Bagaimana dengan pusat kota Magelang?
Danoekromo anak guru ngaji Kraton
Yogyakarta yang ditunjuk Raffless untuk menjadi Bupati (regent) Magelang dengan
gelar Danuningrat 1 memutuskan dataran yang saat ini menjadi alun-alun sebagai
pusat kota yang dipimpinnya. Dataran
pusat kota Magelang cenderung cembung diapit 2 sungai besar (Elo dan Progo) namun
tidak mempunyai mata air dan tidak pula keluar air saat dibuat sumur. Konon ada lempeng batu hitam yang sangat luas
di bawah tanah Magelang sehingga air tanah tidak bisa keluar permukaan tanah.
Air pada awal tahun 1800-an dibutuhkan
masyarakat Magelang untuk minum, masak, MCK, wudhu untuk sholat di masjid
Agung, dan irigasi pertanian yang saat itu belum begitu jauh dari pusat
kota. Darimana mereka mendapatkan
air? Padahal hingga awal tahun 1900-an, sebagian
masyarakat muslim Magelang masih terbiasa berwudhu di sungai Progo sebelum
sholat di masjid Agung.
UTARA MAGELANG
Air
selalu mengalir ke bawah, karenanya membicarakan aliran air di Magelang berarti
membicarakan arah dari utara ke selatan.
Apabila ingin mengairi dataran Magelang, berarti harus membicarakan area
utara Magelang. Dalam hal ini, ada
sebuah literatur sangat penting yaitu buku de
Afdeeling Statistiek ter Algemeene Secretarie tahun 1871 tentang Residentie
Kadoe (Karesidenan Kedu).
Dalam
buku itu disebutkan bahwa menurut para pemimpin pribumi di Kadoe, sebelum orang
Eropa masuk telah ada 8 saluran irigasi di distrik Lempoejang, Prapak dan
Magelang. Di distrik Magelang sendiri ada dua saluran irigasi yang mengalir
dari bendungan di Kali Elo, yaitu bendungan di Goenoeng Saren yang dibangun
oleh penduduk pada tahun 1770-an dan bendungan Kali Elo di sekitar Payaman yang
dikenal dengan nama Soemberan yang juga dibangun oleh masyarakat pada tahun
1780-an. Jadi harus digarisbawahi bahwa
orang lokal telah membuat saluran air.
Ditilik
dari tahunnya, nyatalah bahwa area Magelang yang berada di bawah kerajaan
Ngayogyakarta sejak 13 Februari 1755 mulai dibenahi oleh Sultan Hamengku Buwono
1. Beliau saat masih bergelar Pangeran
Mangkubumi telah menjelajah area Kedu termasuk bukit Tidar selama peperangan
sehingga mengenal seluk beluk sumber air.
Dataran Magelang saat itu merupakan stepa luas yang dihuni rusa seperti Afrika
tanpa aliran air di tengahnya.
Saat
Inggris berkuasa di Kedoetahun 1811, semua saluran irigasi tinggalan HB 1 dalam
keadaan bobrok. Mereka kemudian
memperbaiki saluran irigasi Soemberan hingga bisa berfungsi. Kemudian di masa pemerintahan
Belanda berkuasa di Kedoe, hanya saluran irigasi Soemberan yang dapat
berfungsi. Saluran irigasi yang lain nyaris tidak berfungsi. Saat Perang Jawa (Perang Diponegoro), kota
Magelang merupakan pusat pemukiman orang-orang Eropa dan bupati Magelang
menentang Pangeran Diponegoro sehingga kota Magelang menjadi salah satu sasaran
perang. Jalan dan jembatan banyak yang
rusak. Saluran irigasi bahkan tinggal
tersisa 1 paalpanjangnya. Kota Magelang
nyaris tanpa air. Tahun 1827 saat perang
masih berlangsung, saluran irigasi Soemberan diperbaiki dan dijaga ketat agar
tidak dihancurkan lagi.
Setelah
perang, saluran irigasi ini mulai mendapat perhatian serius. Pada tahun 1831 dibuat
rencana penggalian kanal yang bersumber dari kali Elo. Pemerintah Hindia Belanda menghendaki agar
proyek itu ditangani oleh ahli bangunan air.
Maka pada tahun 1834 proyek tersebut diserahkan kepada pimpinan Wapen
der Genie (kesatuan tentara di Hindia Belanda). Penelitian pertama dilakukan
pada tahun 1838, biaya proyek tersebut diperkirakan f. 15699.70 uang
tembaga/benggol. Jumlah tersebut cukup
besar karena saluran irigasi itu diproyeksikan mengubah 800 bahu (bouw) tegalan
menjadi sawah di selatan Magelang.
Saluran irigasi ini akan mengalirkan air dari bendungan (dam) di kali Elo yang akan dibangun di Goenoeng Saren yang letaknya cukup tinggi. Pada tahun 1848 pekerjaan dimulai, tetapi berhenti pada bulan Juli.Penghentian proyek itu dilakukan karena beberapa sebab, antara lain: Sejak awal sudah ada perdebatan apakah air dari kali Elo mencukupi untuk dialirkan sampai ke selatan Magelang agar dapat dicetak sawah-sawah baru meskipun bendungan ditinggikan. Mereka mengusulkan untuk menambah debit maka air kali Progo juga harus dibendung. Usulan terakhir ini hanya sebatas cita-cita. Penyebabnya adalah kurangnya dana. Para insinyur pesimis akan hasil akhir proyek kalau bendungan ditinggikan tapi tidak dipasang benteng penguat. Konsekuensinya adalah pembengkakan biaya.
Courtesy of alm.Tony Kusumahadi |
SALURAN LAMA
Pada Peta Saluran tersebut membelah dataran Magelang
dari daerah Secang di utara hingga daerah Sekaran di selatan melewati sisi
barat gunung Tidar (dahulu bukit sering disebut sebagai gunung). aluran
kecil (creek).
Tidak ada catatan tentang pembuatan
saluran melewati kota sehingga saluran ini tidak diketahui dibangun kapan. Kemungkinan besar, saluran ini merupakan
saluran masa Hamengku Buwono 1 yang telah disebut di atas. tersebut
hanya berbentuk seperti got namun di masa lalu mempunyai jasa yang sangat
penting. Ia mampu mengalirkan debit air
yang deras, dan jernih. Sisa saluran lama
yang kini dipandang sebelah mata, kering, dan hanya terisi air saat hujan ini
(harus DIPERTAHANKAN sepanjang masa sebagai bagian sejarah kota) masih dapat
dijumpai di barat Tidar seperti terlihat pada gambarini.
Courtesy of KITLV |
Perencanaan
saluran air yang dibuat oleh Belanda bukanlah dalam rangka membuat saluran baru
namun bagaimana meningkatkan debit air agar bisa menciptakan banyak sawah. Semakin banyak sawah berarti semakin banyak
pula pemasukan negara. Buku Führer auf Javatahun
1890 menyebutkan lokasi sawah atau tanah basah ada di Pajaman, Blambangan,
Sedjang. Grabak, Sutjen. Sementara area tanah kering untuk ladang kacang,
ketela, jagung, bungkil ada di Tonorogo, Pradjenan, Kledokan, dan Mendut.
Satu
misteri lain tentang pengairan sawah adalah dari lukisan Stuers yang
menggambarkan bentangan sawah nan luas pada tahun 1830 di sebelah timur gunung
Tidar. Darimana air didapat untuk
mengairi sawah padahal pada tahun 1855 baru ada satu saluran creek membelah
kota dan melewati barat Tidar (bukan Timur)?
KALI MANGGIS
Seiring perkembangan masa kolonial, administrasi
pemerintahan mulai rapi. Salah satu
catatan yang penting adalah tentang kebakaran rumah. Material rumah masyarakat yang terbuat dari
bambu dan sumber cahaya malam hari yang menggunakan api sering menyebabkan
kebakaran. Ada sebuah catatan tentang
kebakaran bangunan penting yang sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut tentang
apakah bangunan itu. Air sulit
didapatsehingga bangunan ludes terbakar.
Saluran yang ada tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut sehingga
masyarakat diwajibkan mengisi air di bambu pada musim kemarau untuk siaga
kebakaran.
Menurut
buku de Afdeeling Statistiek ter
Algemeene Secretarie, pemerintah Hindia Belanda akhirnya memutuskan
membangun bendungan baru di kali Elo dekat desa Soember Ketandangpada tahun
1856. Bendungan pun dibangun di desa MANGGIS. Pekerjaan ini disubsidi pemerintah dalam
bentuk dana dan tenaga ahli. Pekerjaan
tersebut menurut buku “Magelang, Middelpunt van den Tuin Van Java” selesai
pada tahun 1857 dan mampu mengaliri sekitar 625 bau sawah.
Saluran
tersebut kemudian dikenal dengan nama kali Manggis. Sumber airnya didapat dari 2 sungai utama
yang membatasi Kota Magelang di sisi Timur dan Barat, yaitu Sungai Elo dan
Sungai Progo. Sungai Elo
dibendung di Dusun Manggis, Desa Payaman, Kec. Secang, Kab. Magelang (dinamakan
Bendung Plered). Adapun Sungai Progo dibendung
di Dusun Badran, Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung (dinamakan Bendung Badran). Kedua
bendungan inilah yang menjadi sumber aliran Kali Manggis. Kedua aliran dari dua sungai tersebut
dipertemukan jadi satu di timur Payaman, tepatnya di Dusun Candi Umbul, Desa Kartoharjo seperti foto disamping.
Pada
bulan Oktober 1858, bendungan di kali Elo (Goenoeng Saren dan Soemberan) rusak
diterjang banjir. Pemerintah menganggap pemulihan dan pemeliharaan rutin harus
dilakukan oleh para pemilik perkebunan dan masyarakat secara gotongroyong
(tidak dibayar pemerintah). Kalaupun ada
pengeluaran dipersilakan diambil kontribusi dari kas daerah. Namun konsep tersebut rupanya tidak berjalan
mulus.Pada tahun 1870, proyek itu sudah tampak kemajuannya dan pemerintah telah
mengeluarkan dana sebanyak f.160,- untuk pembelian alat dan material.
Membicarakan
kali Manggis akan selalu mencapai titik misteri yaitu desa Manggis tidak
dijumpai lagi di masa sekarang. Banyak
yang mengatakan bahwa desa (dusun – entahlah) tersebut berubah nama menjadi Plered yang masih ada
hingga sekarang. Tidak ada yang tahu
mengapa nama Manggis berubah menjadi Plered.
Prediksi penulis, nama Manggis tidak berubah menjadi Plered. Orang Jawa tempo doeloe mempunyai kebiasaan
menamai tanah tak berpenghuni (yang kadang nama tersebut bertahan saat telah
menjadi pemukiman) berdasarkan beberapa hal.
Pertama, sesuai kejadian yang pernah terjadi di tanah itu (misalnya
Simaling atau Sibegal). Kedua, sesuai
bentuk tanah (misalnya Sicacing). Ketiga
dan yang paling sering, sesuai apa yang paling banyak ada di lokasi itu
(misalnya Pandan Wangi, Siwaluh, Cemoro Sewu, Manggis). Dengan demikian, Manggis merupakan nama kebun
yang ditumbuhi pohon-pohon manggis atau sebuah dusun kecil bernama
Manggis. Area tersebut dikosongkan untuk
kepentingan pembuatan bendungan. Karena
dibangun di area bernama Manggis, maka salurannya dinamakan saluran Manggis. Area Manggis sama sekali tidak ada di peta,
yang ada hanya Plered.
BOOG KOTTA LEIDING
Ada sebuah
keunikan di kota Magelang yang sepertinya tidak dijumpai di kota-kota lain di
Indonesia, yaitu adanya saluran air (kanal) membelah kota sejauh 5 kilometer di
atas gundukan tanah memanjang dengan ketinggian bervariasi hingga 8 meter. Kanal kecil yang disebut boog kotta leidingitu bermula
dari pecahan saluran kali Manggis dikelurahan Kedungsari
dan berakhir di kelurahan Jurangombo
Utara.
Keberadaan boog kotta leiding masih menjadi tanda tanya
dari segi tahun pembangunannya, siapa arsiteknya, dan berapa biaya yang
dibutuhkan. Dikatakan menjadi misteri
karena jalur kanal ini telah terdapat di peta tahun 1855 padahal kali Manggis
sebagai pemasok airnya baru dibangun 1856 hingga 1857. Selain itu, jalur yang persis sama hanya di
kota saja sementara di utara kota mempunyai jalur yang berbeda dari kali
Manggis.
Menurut
Soekimin Adiwiratmoko, boog kotta leiding dibangun pada tahun 1857. Apabila benar, maka boog kotta leiding merupakan renovasi dari saluran creek lama yang telah disebutkan di
atas. Renovasi dilakukan dengan
meninggikan saluran menjadi seperti yang bisa kita lihat saat ini.
Saluran air yang berada di atas gundukan tanah membujur
dari kampung Peniten di Menowo hingga samping kantor PDAM. Gundukan tanah di daerah ini hampir sama
dengan tanah normal di sekitarnya. Saat
ini, saluran terhalang tembok Balai Diklat Keuangan menembus daerah Gereja
Katholik Ignasius, melewati bawah tanah halaman Masjid Agung Kota Magelang,
lalu agak melenceng sedikit lewat bawah gedung Bank Jateng cabang
Magelang. Dari sini, saluran air bisa
diikuti melewati daerah kebon hingga ke Jalan Daha. Berdasarkan peta kota Magelang tahun 1923 dan 1935, telah terjadi beberapa perubahan
aliran boog kota leiding di depan
gedung Ahmad Yani. Dulunya saluran ini
lurus ke arah selatan berdampingan di sisi timur jalan Gatot Subroto. Bekas-bekasnya
masih dapat kita jumpai.
Fungsi
Peninggian kanal otomatis meningkatkan daya gravitasi
sehingga mampu menggelontor limbah rumah tangga. Artinya, sanitasi terjaga. Contoh yang paling mudah dilihat adalah di
kompleks MULO School yang saat ini menjadi SMPN 1 Magelang. Dahulu selokan kompleks tersebut dialiri air
nonstop dari boog kotta leiding yang
berada di atasnya. Gemericik air jernih
cukup deras mengaliri selokan yang berisi siput air, kepiting, dan ikan-ikan
kecil. Di bagian kota yang lain, air
boog kotta leiding bisa digunakan petugas untuk menyiram tanaman, sumber air pemadam
kebakaranyang sangat dekat,dansaat melewati stasiun Magelang Kotta bisa dimanfaatkan untuk pengisian
air pendingin lokomotif.
Plengkung
Dimata pemerintah Belanda, Kedoe punya
dua sisi. Di satu sisi, wilayah ini
sangat subur dan banyak penduduknya sehingga tidak bisa ditinggalkan. Di sisi lain, wilayah Kedoe rawan
pemberontakan. Oleh sebab itu, Belanda
memutuskan tidak mengembalikan pasukan kiriman yang sudah ada di Kedoe selama
Perang Diponegoro. Kebutuhan akan tangsi
dan rumah tinggal tentara menjadi diperlukan.
Hingga tahun 1870, tentara KNIL di Magelang mendiami barak-barak dari
bambu dan sebagian dari kayu. Pada tahun
1880, pemerintah membuat peta rencana pembangunan tangsi yang saat ini dikenal
sebagai Rindam. Dalam peta tersebut
direncanakan dibangun 50 bangunan namun saat pembangunannya tahun 1883 hanya
terbangun 8 gedung.
Pada
beberapa bagian boog kotta leiding, ada terowongan di bawah kanal yang
dipergunakan sebagai jalan pintas.
Terowongan dibuat dengan membuat bangunan penyangga kanal di
atasnya. Bangunan tersebut secara umum
disebut aquaduct yangberasal
dari kata Latin aqua (=air) dan kata ducere (=memimpin). Aquaduct tersebut mempunyai lengkungan di
bagian atas sehingga orang Magelang menyebutnya dengan istilah Plengkung. Sepanjang boog kotta leiding terdapat 3
plengkung.
Pada
jarak HM 1450 (1450 hektometer dari hulu boog
kotta leiding) dapat kita temui sebuah plengkung pertama yang disebut Plengkung Baru (1920).Plengkung tersebut
menghubungkan perumahan perwira di Badaan menuju Kaderschool (1883) dan
Militaire Hospitaal (1893).Pada
jarak 400 meter di selatannya ada Plengkung
Lama yang mempunyai tulisan 1883 di sisi timurnya. Aquaduct berbahan material batu kali tersebut
kini telah diplester semen dan menghilangkan tulisan 1883-nya. Plengkung Lama menjadi akses jalan tembus antara Groote Weg Noord, Stasiun Magelang Kotta, Militair
Hospitaal (RST) dan tangsi militer dengan kawasan Badaan (Badaan Plantsoen),
Badaan Noord, dan pemukiman warga. Pada
jarak 2 kilometer sebelah selatannya kita jumpai Plengkung Tengkon. Tidak
diketahui tahun pembangunan plengkung ini namun diperkirakan mempunyai arus
lalu lintas paling padat dibanding dua plengkung lainnya. Buktinya adalah adanya satu terowongan utama
dan dua terowongan pendukung di kiri-kanannya.
Pada masa Jepang, dua pintu di kanan-kiri ditutup dengan tanah untuk
mempermudah pengawasan lalu-lalang.
Tahun 1999 penutup tersebut dihilangkan menjadi seperti aslinya. Sayangnya, pada tahun 2008 plengkung Tengkon
direnovasi dengan menempelkan batu hias sehingga terlihat modern dan mewah namun menghilangkan
nilai bangunan tuanya.
Sirine
Posisi kanal
yang tinggi dimanfaatkan pemerintah Nederlandsch Indie untuk memasang 3 buah
sirine persis di atas saluran air menggunakan struktur besi berbentuk menara
kecil. Apabila diukur dari ketinggian
tanah normal, posisi sirine seakan menggantikan posisi di atas menara
tinggi. Ketiga sirine tersebut dikenal
sebagai Menara Potrosaran (HM 900), Menara Botton di atas SMK
Negeri 3 Magelang (HM 1850), dan Menara Kemirikerep
(HM 3650). Selain ketiga sirine itu, ada
satu lagi sirine tertinggi yang berada di atas watertoren. Konon apabila sirine di atas watertoren
dibunyikan, ketiga sirine lainnya otomatis akan berbunyi.
Fungsi
sirine di masa Nederlandsch Indie adalah untuk memberikan peringatan atas bencana dan di
masa Jepang menjadi penanda
diberlakukannya jam malam.
Tidak diketahui sejak kapan pemasangan sirine itu namun pada tahun 1930 sirine
itu telah ada di tempatnya. Saat
berbunyi, suara sirine tersebut dikenal dengan nama “mbengung”. Meski demikian, suara sirine tersebut
terdengar hingga daerah.
Pintu Air
Selain plengkungdan
sirine, boogjuga dilengkapi
dengan beberapa pintu airyang
memungkinkan alirannya menggelontor limbah rumah tangga di sisi kanan-kirinya.Sayangnya,
banyak pintu air yang tidak utuh lagi. Besi-besi penyusunnya raib diambil
orang. Otomatis debit air boog kotta
leiding seakan tak terkontrol. Pasrah
pada keadaan. Pada musim kemarau, aliran
mulai masjid Agung hingga Jagoan seringkali kering dan penuh sampah. Hal itu sangat kontras dengan keadaan
seratusan tahun silam seperti foto di bawah ini dimana aliran air sangat jernih
dan suasana sangat asri. Saksi mata
menyatakan bahwa hingga tahun 1970, aliran air masih jernih dan banyak
ikannya. Masyarakat saat itu tak sungkan
mandi di dalamnya karena airnya yang jernih.
WATER TOREN
Di
Magelang terdapat sebuat bangunan di pusat kota yang sangat menarik perhatian sehingga
sering digunakan secara informal sebagai logo maupun penanda kota yaitu water toren.
Water toren merupakan istilah bahasa Belanda yang berarti sama
dengan water tower dalam bahasa
Inggris atau menara air dalam bahasa Indonesia.
Water torendibangun pada tahun
1916 diarsiteki oleh Herman Thomas Karsten.
Di Indonesia, hanya ada 3 kota yang mempunyai menara air kuno dan
water toren di Magelang merupakan yang paling indah secara estetika
bangunan. Thomas Karsten adalah arsitek
terkenal yang juga merancang perumahan sehat-ekonomis Kwarasan, pasar Boeloe,
dan pasar Djohar.
Water
toren dibangun dengan biaya sebesar 550 ribu Gulden. Para pekerja sebagian besar berasal dari
Sulawesi. Tercatat pernah terjadi
kecelakaan kerja yaitu saat seorang pekerja terjatuh dan meninggal. Material bangunan terdiri dari bligon, yaitu yang terdiri dari semen
merah (batu bata), batu gamping, dan semen biasa. Hingga kini, bangunan tersebut belum pernah
mengalami perombakan dan masih berfungsi dengan baik meskipun beberapa kali mengalami
goncangan gempa.
Water toren mulai beroperasi pada tanggal
2 Mei 1920. Fungsinya sebagai
penampungan sekaligus penyalur air jernih dari mata air guna keperluan rumah
tangga seperti minum, memasak, dan lain-lain.
Menara dibangun dengan 32 pilar, tinggi 21,2 m dan dapat menampung 1,750
juta liter air. Bangunan seluas 395,99 m
initerdiri dari beberapa bagian. Bagian
paling bawah berbentuk melingkar dan digunakan sebagai laboratorium, ruang
pelayanan pelanggan, ruang administrasi,
dan ruang
pengontrol air. Jika dijumlah dengan
pintu masuk dan kamar kecil, jumlah ruangan yang ada di lingkaran bawah
berjumlah 16 ruangan. Saat ini, bangunan-bangunan tersebut beralih fungsi
menjadi gudang.
Dari
luar, terlihat pilar-pilar menopang penampungan air pada bagian pinggir. Pada bagian tengah, terlihat tiang beton besar
dengan diameter 3 meter. Didalam beton tersebut terdapat tangga bertingkat tiga
terdiri dari 18 anak tangga. Tangga tersebut menghubungkan lingkaran bawah
dengan lingkaran diatas. Pada bagian
atas tempat penampungan air terdapat ruang kecil dan menara tempat sirene.
Selain
itu ada sebuah ruang hampa yang difungsikan untuk mengatur tekanan air. Untuk
mengontrol dan menggerakkan air agar sampai kepelanggan, di menara tersebut
terdapat tiga alat pengontrol air. Ada
tiga mesin merk Schafter &Budenberg
(Jerman) dan Ruhaak & Co
(Belanda) yang berfungsi memastikan air melalui pipa-pipa induk untuk disalurkan
melalui pipa sekunder ke rumah warga.
Berdasarkan
arsip, ada 7 pipa induk yaitu di Jalan Diponegoro (1,685 km), Jalan Bandongan
(4 km), Jalan Aloon-aloon Utara (140 m), Jalan Aloon-aloon selatan (110 m),
Jalan Tentara Pelajar (860 m) Jalan Pemuda (1,065 km) dan Jalan Gatot Subroto
(760 m). Pipa-pipa tersebut bermerk Century
Utrecht NV Solten Fabriekdan terletak dibawah tanah.
Di dalam
water toren tersimpan arsip fisik berupa gambar konstruksi beserta ukuran dan
jumlahnya. Ukuran kertasnya sekitar 1 m
x 10 m. Sayangnya, arsip tersebut konon
telah disobek orang tak bertanggung jawab.
BUNKER DI ALUN2?
Pada masa
pemerintahan Nederlandsch Indie, di sebelah tenggara water toren terdapat air
mancur yang sangat indah landscape-nya dilihat dari atas water toren seperti
foto di samping. Air mancur di era tempo
doeloe menjadi perlambang kemakmuran, seakan untuk menunjukkan pada orang luar
kota bahwa air tidak menjadi masalah di kota ini.
Di bawah air mancur itu, sebagian masyarakat menyatakan terdapat
bunker (karena tidak terlihat seperti saluran air). Konon bunker tersebut bisa memuat sekitar 25
orang. Pintu masuknya ada di sisi barat
laut air mancur. Tinggi bunker sekitar 2
meter dan fungsi utamanya untuk perlindungan di masa perang. Lebih lanjut informasi menyebutkan bahwa di
bawah jalan depan Trio Plaza saat ini masih terdapat pipa besi besar yang
ukurannya bisa dimasuki orang. Pipa
tersebut membujur dari depan BPLK menuju timur dan mengalirkan air
menuju Kali Manggis. Sepanjang jalan Tentara Pelajar sampai alun-alun ada
saluran bawah tanah, terhubung dengan saluran lain ke barat menuju Kalibening. Di
masa Belanda, saluran gorong-gorong memang dibuat selayaknya kota-kota di
Eropa. Setiap 50 meter terdapat lobang
masuk di kiri-kanan jalan. Lobang tersebut
berdiameter sekitar 75 cm di permukaan jalan.
Suatu saat, pintu-pintu besi dipermukaan gang Cempaka, Bayeman Mudal,
dan jalan Gereja (sekarang Brigjen Katamso) dilas oleh petugas dari Kelurahan
Kemirirejo. Tujuannya agar anak-anak tidak
bisa masuk dan bermain di dalamnya.
Penyebabnya sering terjadi anak-anak bermain di gorong-gorong kemudian
hanyut terbawa banjir.
VISI KEDEPAN
Visi seseorang bisa saja berbeda satu sama lain. Begitu pula visi kedepan berkaitan dengan
kanal boog kotta leiding di Magelang ini.
Stempel bangunan cagar budaya seharusnya telah melekat erat pada
plengkung dan boog kotta leiding sebagai satu kesatuan sehingga saluran air ini
harus dijaga keaslian serta kelestariannya.
Meski begitu, pemanfaatan secara positif untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat boleh dilakukan asal tidak merusak bangunan cagar budaya ini. Aquaduct
tinggi di atas tanah tidak terlalu banyak di dunia. Salah satu yang cukup mengesankan adalah Pontcysyllte Aquaduct di timur laut
Welsh, Britania Raya. Bangunan air ini
dibangun sebelum boog kotta leiding yaitu tahun 1795 – 1805 dengan tujuan
sebagai transportasi tambang batubara, besi, dan lain-lain menggunakan
perahu. Kini, kanal di atas tanah
tersebut dipergunakan untuk wisata. Hal
tersebut sebenarnya bisa diadaptasi pada boog kotta leiding dengan
penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Misalnya lebar dan kedalaman boog yang sedikit lebih sempit dari
Pontcysyllte membuat kapal yang digunakan harus ringan dan lebih sempit
seukuran roller coaster. Kalau tidak
memungkinkan, aneka kegiatan air seperti kanoing, tubing, dan lain sejenisnya
bisa digunakan. Debit air dijaga
kestabilannya dengan arus yang pelan.
Jembatan penyeberangan pejalan kaki diimprovisasi agar bisa membuka dan menutup.
Visi
tersebut di atas hanya sebuah contoh.
Prinsip melestarikan bangunan cagar budaya harus dijunjung tinggi
sehingga pemanfaatan apapun terhadap boog kotta leiding harus dilakukan secara
bijaksana. Sebijaksana siapapun para
pendahulu kota Magelang yang telah mewariskan saluran air kehidupan.
Saya jadi curiga, di Kalibening ada ruangan tak berpintu yang setengah bangunannya terbenam air (seukuran perut orang dewasa) apakah ini yang menghubungkan ke Magelang kota?
BalasHapus