Ini bukan prasasti Poh. |
Selama ini ada kesalahan yang kaprah di masyarakat tentang prasasti
Poh. Prasasti tersebut digambarkan
sebagai prasasti Batu yang ditemukan di pemakaman Gunung Tengis, dusun Dumpoh, kelurahan
Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara. Padahal,
batu yang disinyalir sebagai prasasti atau replika penanda prasasti tersebut diletakkan
oleh sekelompok seniman yang melakukan syuting film dalam rangka nguri-uri
warisan leluhur. Lalu bagaimanakah
cerita sebenarnya tentang Prasasti Poh?
Sebenarnya, Poh adalah nama yang disematkan untuk menyebut prasasti
tembaga beraksara Kawi yang ditemukan di dukuh Plembon, Desa Randusari, Kecamatan Prambanan,
Kabupaten Klaten. Prasasti yang
ditemukan dekat candi Prambanan tersebut disebut juga dengan Prasasti Randusari
1, berbentuk dua lempeng (lembar) tembaga berukuran panjang 50 cm dan lebar
20,5 cm. Prasasti itu dikoleksi oleh KGPA
Hadiwijoyo bangsawan keraton Mangkunegaran, Surakarta.
Prasasti Poh |
Prasasti Poh |
Alih aksara prasasti
Poh pertama kali dilakukan oleh W.F. Stutterheim pada tahun 1940 dalam buku Inscripties van Nederlandsch Indie dengan
judul Oorkonde van Balitung uit 905 A. D.
[Randoesari I]. Dari alih aksara didapat
banyak ilmu pengetahuan lanjutan misalnya bahwa desa Poh dimerdekakan pada tahun
827 Saka, bulan Srawana, tanggal 13 paro-terang [suklapaksa], paringkelan
Paniruan [sadwara], pasaran Pon [pancawara], hari Budhawara [saptawara] yang
menurut ahli penanggalan dari Perancis yaitu Louis-Charles Damais sama dengan hari
Rabu Pon tanggal 17 Juli 905 Masehi.
Desa Poh dimerdekakan
secara pajak oleh raja Mataram Kuno (Medang) saat itu yaitu Sri Maharaja Rakai
Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu atau lebih sering disebut Dyah
Balitung (899 – 911). Berbeda dengan
jaman sekarang yang kata dyah sering disematkan bagi nama perempuan, raja Dyah
Balitung adalah seorang laki-laki. Maharaja
ini diperkirakan naik tahta dari jabatan sebelumnya sebagai raja kecil di
daerah Purworejo sekarang. Berdasarkan penetapannya,
prasasti Poh berusia lebih tua 2 tahun dari prasasti Mantyasih yang dijadikan
patokan Hari Jadi Kota Magelang.
Isi pokok prasasti
ini terdapat dalam plat 1b baris 3 dan 5 yaitu “…paknan yan sinususk caitya mahaywa silunglung sang
dewata lumah i pastika…” yang berarti penetapan desa Poh menjadi sima (desa perdikan
bebas pajak) dalam rangka mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya. Kata silunglung pada awalnya tidak diketahui artinya. Menurut W.F. Stutterheim, silunglung berarti bangunan candi permanen untuk mengabadikan tempat suci yang ditandai oleh silunglung. Goris berusaha menjelaskan bahwa silunglung merupakan bangunan sementara yang didirikan untuk menyimpan tulang dan abu pasca kremasi. Adapun penjelasan Profesor Zoetmulder dianggap lebih diterima para ilmuwan, beliau mengartikan bahwa caitya bertugas sebagai kendaraan (menuju dunia fana) bagi raja yang diabadikan di Pastika (untuk meraih kebebasan dari lingkaran kehidupan).
Prasasti Poh juga menyebut “…wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang….. poh 827 C” yang berarti wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang. Artinya, desa Poh, dusun Rumasan, dan dusun Nyu semuanya termasuk lungguh kinawang. Para tetua di desa dan dusun tadi diceritakan mempersembahkan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Rakyat jelata juga dikatakan mendapat hadiah. Selain itu disebutkan juga nama para pejabat, penduduk desa, saji-sajian yang digunakan dalam upacara manusuk sima tadi, dan nama-nama desa lainnya. Beberapa penguasa desa yang turut diundang yaitu dari desa Mantyasih, desa Glangglang, dan desa Galang.
Seperti diketahui, ibukota Mataram Kuno (Medang) berpindah-pindah saat masih di area Jawa Tengah yaitu Bhumi Mataram, Mamrati, Poh Pitu, dan kembali ke Bhumi Mataram sebelum pindah ke area Jawa Timur. Poh Pitu merupakan ibukota kerajaan saat prasasti Poh dibuat. Setiap prasasti kadang-kadang dibuat salinan, satu untuk desa bersangkutan dan satu disimpan di pusat administrasi kerajaan. Bisa juga sebuah lempeng prasasti telah berpindah atau tidak in situ sejak beratus tahun lalu. Jadi, meski lempeng ditemukan di area Prambanan bukan berarti dusun atau desa tempat ditemukannya merupakan desa Poh. Nama desa Plembon tempat ditemukannya prasasti Poh lebih berarti blengkok yang berarti tikungan atau plengkungan jalan menjadi kata plembongan atau plembon. Adapun desa Poh dalam prasasti Randusari 1 ini sering diidentikkan dengan desa Dumpoh yang berada di sisi barat laut kota Magelang.
Prasasti Poh juga menyebut “…wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang….. poh 827 C” yang berarti wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang. Artinya, desa Poh, dusun Rumasan, dan dusun Nyu semuanya termasuk lungguh kinawang. Para tetua di desa dan dusun tadi diceritakan mempersembahkan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Rakyat jelata juga dikatakan mendapat hadiah. Selain itu disebutkan juga nama para pejabat, penduduk desa, saji-sajian yang digunakan dalam upacara manusuk sima tadi, dan nama-nama desa lainnya. Beberapa penguasa desa yang turut diundang yaitu dari desa Mantyasih, desa Glangglang, dan desa Galang.
Seperti diketahui, ibukota Mataram Kuno (Medang) berpindah-pindah saat masih di area Jawa Tengah yaitu Bhumi Mataram, Mamrati, Poh Pitu, dan kembali ke Bhumi Mataram sebelum pindah ke area Jawa Timur. Poh Pitu merupakan ibukota kerajaan saat prasasti Poh dibuat. Setiap prasasti kadang-kadang dibuat salinan, satu untuk desa bersangkutan dan satu disimpan di pusat administrasi kerajaan. Bisa juga sebuah lempeng prasasti telah berpindah atau tidak in situ sejak beratus tahun lalu. Jadi, meski lempeng ditemukan di area Prambanan bukan berarti dusun atau desa tempat ditemukannya merupakan desa Poh. Nama desa Plembon tempat ditemukannya prasasti Poh lebih berarti blengkok yang berarti tikungan atau plengkungan jalan menjadi kata plembongan atau plembon. Adapun desa Poh dalam prasasti Randusari 1 ini sering diidentikkan dengan desa Dumpoh yang berada di sisi barat laut kota Magelang.
Dari isi kalimat prasasti Poh di atas, terlihat bahwa desa Poh
masuk dalam area tanah lungguh. Tanah lungguh
dikuasai oleh seorang bangsawan yang tinggal di dalam jeron beteng. Tanah lungguh ini merupakan daerah inti atau
negaragung yang tidak dikuasai oleh para raja kecil dibawah maharaja. Dengan kata lain, apabila desa Poh merupakan
desa Dumpoh saat ini berarti area Magelang merupakan area di dekat pusat
kerajaan. Jarak desa Poh dengan pusat
kerajaan tidak diketahui namun relatif dekat. Dengan kata lain, pusat kerajaan yang saat prasasti Poh
ini ditulis beristana di Poh Pitu menandakan bahwa desa Poh (=dusun Dumpoh)
ditengarai bukanlah Poh Pitu.
Terlepas dari apakah Dumpoh merupakan Poh Pitu atau bukan, desa
tersebut merupakan desa yang tercatat dimerdekakan paling awal di area
Magelang. Alasan pemerdekaannya sangat
mulia yaitu karena mengelola bangunan suci.
Poh sendiri berarti pohon mangga (magnifera
indica), salah satu jenis pohon asal India yang disucikan dari beberapa
nama pohon suci lainnya (oleh penganut Hindu saat itu) sehingga diperkirakan di desa ini merupakan desa yang
agamis dan menghormati peninggalan raja sebelum raja masa itu. Dalam kata modern saat ini, masyarakat desa
Poh merupakan masyarakat yang relijius dan melestarikan bangunan cagar budaya
(BCB). Jadi, masih mau kalah dengan
masyarakat kuno? Semoga tidak.
Jadi...didumpoh tidak ada prasasti...
BalasHapusHanya batu penanda saja...bukan asli keberadaan prasasti poh...