Pada
24 November 1852 Lady Pfeiffer menyiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan
menembus utara Jawa ke selatan Jawa di Nederlansch Indie. Magelang adalah tujuannya.
Ida
Laura Pfeiffer, demikian orang menyebutnya merupakan petualang wanita pertama
di dunia. Ia sangat menikmati trip kelima sekaligus trip keliling dunia
keduanya. Petualangan menjadi impian masa kecil setelah merasakan asyiknya
traveling dari Palestina ke Mesir di usia 5 tahun. Ia memulai petualangan 4
tahun setelah kematian suaminya dan ini adalah tahun ke-13. Kedua anaknya telah
berumah tangga sehingga ia tidak mempunyai tanggungan lagi. Sebenarnya ia agak
sedih. Suaminya waktu itu membuka kasus korupsi dan dipensiun dini sehingga ia
membantu mencari nafkah menjadi guru musik dan menggambar. Andaikan suaminya
masih hidup, tentu ia akan mengajak suaminya bertualang menghibur diri.
Perjalanan
di Jawa Tengah ini tidak mungkin terjadi tanpa jasa Dr.Schmitz dan istrinya.
Saat Ida berada di Batavia, pasangan Jerman ini mengirim surat undangan untuk
mampir ke istananya di Semarang. Dr. Schmitz mengetahui kehadiran Ida karena
nyonya Schmitz merupakan penyanyi terkenal di Batavia. Segala isu hangat
diketahui nyonya Schmitz.
Setelah
dijamu dengan baik di Semarang dan mengunjungi beberapa tempat menarik di Demak
dan Grobogan, Dr.Schmitz mengajak Ida memulai perjalanan ke selatan Jawa.
Insting Ida sebagai anggota Komunitas Geografi di Berlin dan Paris mengatakan
ada hal menarik di sepanjang 48 mil perjalanan menuju selatan. Usia 54 tahun
tidak menyurutkan niatnya melihat pedalaman Jawa. Ida pernah terjebak di suku Batak
kanibal di Sumatra dan suku Dayak pemenggal kepala di Borneo. Banyak trip membuatnya bijak karena di banyak
bagian dunia lain juga banyak kekerasan meski berada di negara yang mengaku
beradab.
Ida bertolak dari Semarang tanggal 26 November. Empat puluh delapan mil perjalanan (=77 kilometer) biasanya tidak terlalu jauh bagi Ida namun kali ini harus ditempuh selama 9 jam. Ida harus menembus gunung setinggi 2000 kaki dan 4550 kaki. Enam kuda beban kadang terpaksa dibantu kerbau di beberapa wilayah yang terjal. Pemandangan alam cukup menghibur karena diakui Ida sangat menakjubkan antara lain gunung, bukit, lembah, dan lautan di cakrawala. Di sebelah barat tampak Sumbing setinggi 10.770 kaki, di Timur ada Merapi dengan ketinggian di atas 8000 kaki. Ke arah depan terlihat Mirbabu, Telo Mayor (lidah pribumi menyebutnya jadi Telomoyo), dan Tambu sementara di sisi lainnya ada pegunungan Minore.
![]() |
Litografi Adolf Dauthage. (Mary Somers Heidhues/Archipel) |
Pukul
3 sore rombongan baru sampai ke Magelang, dataran setinggi 1200 meter dpl.
Mr.Gaillard residen Kedu menerima Ida dan rombongan dengan ramah. Menurut Ida ,
rumah residen Kedu merupakan salah satu dari beberapa bangunan paling cantik di
Hindia Belanda yang pernah ia lihat dan rumah berpemandangan paling bagus yang
pernah ia lihat. Bagaimana tidak, bentangan alam luas dengan gunung yang cantik
langsung terlihat tanpa hambatan. Kebun rumah residen (garden) juga lebih tepat
dinamakan taman (park) karena luasnya dan dihiasi ornamen candi yang cantik.
Tidak terlalu jauh dari rumah residen ada bukit menyendiri yang oleh masyarakat
setempat dipercaya berada di tengah-tengah pulau Jawa sehingga dinamakan
Pakunya Jawa.
Di Magelang ini Ida berkenalan dengan orang Eropa bernama Mr. Wilsen, seorang pelukis yang karyanya pernah dilihat dan dikagumi Pfeiffer saat di Batavia. Bagaimanapun, Ida juga seorang seniman lukis. Mr.Wilsen sedang mendapat tugas dari pemerintah untuk membuat gambar detail dari candi-candi Hindu dan Budha termasuk Borobudur. Gambar Mr.Wilsen ditorehkan menggunakan pena di 400 lembar kertas kulit. Proyek yang dikerjakan selama 4 tahun tersebut baru saja selesai dan ia akan kembali ke Batavia dalam beberapa hari kedepan. Bertemu dengannya di Magelang merupakan sebuah keberuntungan.
Mr.
Wilsen menyediakan waktunya untuk menunjukkan jalan menuju Borobudur pada
tanggal 27 November 1852. Saat itu
Magelang dipimpin oleh bupati Danuningrat kedua. Mr.Wilsen menjadi guide yang menjelaskan
aneka hal tentang Borobudur. Ida mencatat data detail Borobudur di bukunya yang
tidak perlu dijelaskan disini. Satu hal yang jelas diingat Ida, tidak ada
satupun dinding Borobudur yang kosong tanpa ornament. Figur dan bas-relief
Borobudur menurut Ida lebih akurat dan bercita rasa daripada yang ia lihat di
Elora, Adjunta, dan candi lain di India. Arsitekturnya tidak bisa dibandingkan
dengan yang ada di Hindustan.
Borobudur dibangun sebelum era muslim dan era kristen. Pun demikian, Ida mendengar bahwa para wanita Budha dan pengantin berdatangan ke candi setiap musim semi dengan hajat tertentu. Itu menunjukkan bahwa adat Budha telah bercampur dengan adat lain.
Mr. Wilsen bercerita sebenarnya ia berada di zona bahaya saat menggambar. Kondisi Borobudur sangat rapuh. Ibaratnya, tiupan angin kencang bisa menjatuhkan batu candi. Batu jatuh di dekat kakinya saat menggambar merupakan hal biasa bagi Mr. Wilsen. Saat ada gempa meskipun kecil, batu-batu akan rontok kebawah. Suhu juga sangat panas karena lorong-lorong tidak ada angin berhembus.
Selain
ke Borobudur, Ida juga mengunjungi Candi Mendut kemudian melanjutkan perjalanan
18 mil ke Jogja dilanjutkan ke Solo.
Bagi Ida, dua kerajaan tersebut secara teori bebas dari kekuasaan Hindia
Belanda dengan perjanjian-perjanjian tertentu.
Ida sempat menjelaskan bahwa Jogja dan Solo awalnya merupakan satu
kerajaan besar yang pecah karena perang saudara. Ia juga menyinggung adanya pangeran Jogja (=Diponegoro)
yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda selama 5 tahun.
Penjelajah
wanita bukan hal yang biasa di masa itu.
Gaun Eropa yang khas di masa itu harus dimodifikasi oleh Ida. Busana Ida terbuat dari kain
linen warna kelabu. Dia mengenakan penutup kepala dari Bali yang
lapisan dalamnya berupa daun pisang. Dia tetap memakai gaun namun
hanya sebatas lutut dipadu dengan celana pantalon lebar yang hanya sebatas betis. Busana itu memudahkannya bergerak saat perjalanan hujan, menunggang kuda,
atau menyeberang sungai. Ida membawa jaring dan wadah berselempang untuk spesimen serangga.
Beruntung Ida selalu diterima dengan baik oleh para residen yang ia lewati. Mereka menjamu, menyediakan tempat menginap, dan menyediakan kuda pos pengganti di wilayah yang mereka pegang. Ida merupakan orang Austria, bukan orang Belanda. Mr. Schmitz orang Jerman, bukan orang Belanda. Semua menjamu Ida dengan baik. Sultan dan Sunan bahkan bersedia menemui Ida serta memberi kenang-kenangan cincin emas. Selama perjalanan, kadang Ida berjalan kaki karena medan tidak bisa dilewati kuda. Ida juga mengumpulkan beberapa spesies insektisida, tumbuhan, moluska, dan batuan mineral yang didokumentasikan dengan baik. Di kemudian hari setelah Ida meninggal, koleksi tersebut dijual oleh anaknya ke museum di Naturhistorisches Museum di Wina dan Museum für Naturkunde di Berlin. Tidak diketahui apakah ada spesimen yang ia tangkap di Jawa.
Beruntung Ida selalu diterima dengan baik oleh para residen yang ia lewati. Mereka menjamu, menyediakan tempat menginap, dan menyediakan kuda pos pengganti di wilayah yang mereka pegang. Ida merupakan orang Austria, bukan orang Belanda. Mr. Schmitz orang Jerman, bukan orang Belanda. Semua menjamu Ida dengan baik. Sultan dan Sunan bahkan bersedia menemui Ida serta memberi kenang-kenangan cincin emas. Selama perjalanan, kadang Ida berjalan kaki karena medan tidak bisa dilewati kuda. Ida juga mengumpulkan beberapa spesies insektisida, tumbuhan, moluska, dan batuan mineral yang didokumentasikan dengan baik. Di kemudian hari setelah Ida meninggal, koleksi tersebut dijual oleh anaknya ke museum di Naturhistorisches Museum di Wina dan Museum für Naturkunde di Berlin. Tidak diketahui apakah ada spesimen yang ia tangkap di Jawa.
Ida
Laura Pfeiffer atau Lady Pfeiffer sangat beruntung. Ia wanita penjelajah dunia pertama namun bisa meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 27
Oct 1858 (umur 61 tahun) di Vienna, Wien Stadt, Vienna, Austria
karena komplikasi malaria dan dimakamkan di pemakaman Sankt Marxer Friedhof di kota
yang sama.
Nisan Ida Pfeiffer di Wina |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar